Senin, 16 Juli 2018

Deputi BKKBN Pusat Kunjungi Pojok Kependudukan STISIPOL Raja Haji

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Bapak Dr. dr. M. Yani, M.Kes.,PKK. berkunjung ke Pojok Kependudukan STISIPOL Raja Haji, setelah menghadiri acara Hari Keluarga Nasional di Kepulauan Riau yang dipusatkan di Lapangan Relief Antam Kijang (16/7). Beliau didampingi Ketua STISIPOL Raja Haji Endri Sanopaka, S.Sos., MPM Bersama Direktur Institut Kebijakan Kependudukan dan Lingkungan STISIPOL Raja Haji, Dr. Neng Suryanti Nengsih dan juga pejabat di lingkungan BKKBN Provinsi Kepulauan Riau.


Jumat, 12 Mei 2017

ZIARAH KE MAKAM SULTAN TERENGGANU PERTAMA (Sultan Zainal Abidin I)


ZIARAH KE MAKAM SULTAN TERENGGANU PERTAMA (Sultan Zainal Abidin I)


Berziarah ke makam Sultan Zainal Abidin I (Sultan Terengganu Pertama) berlokasi di Bukit Keledang, tidak jauh dari mesjid Abidin atau mesjid putih. Alhamdulillah pada saat berkunjung dapat kesempatan untuk naik ke atas makam dan melihat langsung keadaan di sekitarnya. Menurut salah seorang Polisi yang bekerja di seberang makam bukit keledang, dia sudah 4 tahun bekerja, namun baru dapat berkesempatan naik ke atas makam bersama-sama dengan kami yang saat itu juga berkunjung ke makam tersebut. Makam bukit Keledang ini biasanya terkunci, dan jika ingin masuk seseorang mesti nekat melompat pagar agar dapat naik ke atas. Untuk tahun ini tepatnya di 2017 ada even tahun melawat Terengganu, maka tempat-temapt wisata termasuk makam bukit keledang ini di buka untuk umum.

Menurut Silsilah yang ada, Sultan Zainal Abidin adalah merupakan anak dari Bendahara Seri Maharaja Johor Abdul Majid Tan Habib Marhum Padang Saujana (Kota Tinggi) Johor. Anak BSM Abdul Majid yang lain, yaitu Sultan Abdul Djalil Riayat Shah kemudian mengambil alih kuasa Kesultanan Johor setelah Sultan Mahmud II mangkat di julang (dalam kisah baginda di tikam oleh Laksmana Bintan). Baginda Sultan Mahmud II tidak berputera, sehingga kuasanya diambil alih oleh anak Bendahara Abdul Majid. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kesultanan Terengganu adalah merupakan bagian dari sejarah Kesultanan Riau-Lingga-Johor dan Pahang.

Sabtu, 22 April 2017


PEMILIH CERDAS AMERIKA REFLEKSI PILKADA DI INDONESIA

Oleh :

ENDRI SANOPAKA, S.Sos., MPM

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji


Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika bukan karena wajahnya yang tampan, ataupun kulitnya hitam, serta dari kelompok tertindas sehingga mendapat simpati. Melainkan program jaminan kesehatan semesta yang ditawarkan dalam janji kampanyelah yang menjadi daya tarik pemilih untuk memilih Obama. Begitu juga dengan janjinya akan menarik pasukan tentara Amerika dari daerah-daerah perang, yang juga menjadi beban bagi amerika karena konsekuensi perang adalah peningkatan tarif pajak, di samping permintaan dari keluarga tentara dan veteran yang menginginkan keluarganya yang berperang dapat berkumpul kembali. Begitu obama terpilih, maka segera obama mengeksekusi janji politiknya dengan memperjuangkan lolosnya Rancangan Undang-Undang tentang jaminan sosial  ke parlemen, atau yang dikenal dengan sebutan Obama Care. Sebuah program jaminan kesehatan bagi warga Amerika yang tidak memiliki asuransi kesehatan, dan pada akhir kepemimpinannya Obama menyatakan bahwa 30 juta warga Amerika telah menikmati jaminan layanan kesehatan di pusat-pusat kesehatan di Amerika. Bahkan satu waktu rencana kunjungan Obama ke Indonesia di batalkan karena Obama ingin mengawal Rancangan Undang-Undang tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa parlemen dan senat Amerika didominasi oleh partai Republik, partai oposisi Obama.

Begitu juga dengan terpilihnya Donald Trump dari Partai Republik yang memenangkan pemilihan melawan Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Amerika sedang mengalami gejolak ekonomi ditandai dengan semakin banyaknya pengangguran. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan yang disebabkan perusahaan-perusahaan besar seperti Apple telah membangun pabrik di luar Amerika dengan tujuan mengurangi biaya produksi yang berpengaruh terhadap nilai jual produk Amerika. Janji kampanye Trump yang berlatar belakang pengusaha, begitu terpilih segera mengambil kebijakan dengan memerintahkan perusahaan-perusahaan Amerika kembali ke membangun pabriknya di Amerika agar lapangan pekerjaan dapat mengatasi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga kebijakan kesehatan semesta yang diperjuangkan selama Obama berkuasa dibatalkan karena dianggap membebani keuangan negara.

Rakyat Amerika dengan cerdas menentukan pilihannya atas dasar janji politik yang ditawarkan sebagai sebuah produk jualan untuk menarik simpati publik. Pencitraan yang dibangun oleh kandidat Presiden Amerika bukan pada performancenya secara fisik, apakah tampangnya, kesantunannya, atau bahkan menghapus catatan hitam masa lalunya. Terpilihnya Donald Trump sekali lagi membuktikan bahwa meskipun mendapat penolakan dari beberapa kelompok rakyat Amerika, menunjukkan bahwa rakyat Amerika lebih rasional di dalam menentukan pilihan.



Pesta Demokrasi Di Indonesia

Jika melihat pesta demokrasi di Indonesia, apakah pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah, jauh panggang daripada api jika membandingkan kecerdasan pemilih Amerika dengan kecerdasan pemilih di Indonesia. Pemilih di Amerika lebih rasional, sedangkan pemilih di Indonesia cenderung emosional. Kecenderungan dalam menentukan pilihan dalam sebuah kontestasi pemilihan Presiden ataupun Kepala Daerah baik Gubernur ataupun Bupati/Walikota lebih didasarkan kepada kedekatan dan kesukaan atas kandidat yang ikut dalam kontestasi. Berbagai survey yang dilakukan oleh para kandidat calon kepala daerah berupaya untuk menggali seberapa besar tingkat popularitas, dan juga elektabilitas mereka. Sehingga intervensi yang dilakukan oleh tim konsultan adalah dengan berupaya membangun pencitraan secara fisik dan non fisik agar menimbulkan kesan pada para pemilih dan menjadi lebih dikenal. Ada kandidat yang mencoba membangun simpati dengan mendesain karakternya menjadi orang yang teraniaya melalui pencitraan media, baik cetak ataupun elektronik, bahkan melalui media sosial. Ada yang tampil dengan sikap simpatiknya turun blusukan ke pusat-pusat perbelanjaan, sekedar bertanya harga, atau sambil berselfie berupaya membangun citra lebih dekat dengan masyarakat. Dan juga ada yang tampil lebih religius untuk menunjukkan dirinya lebih dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Semua yang mereka lakukan adalah merupakan bagian dalam membangun sebuah political branding atau lebih familiar disebut pencitraan.

Tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat didaerah ataupun di Indonesia secara umum memang berbeda dengan di Amerika. Janji-janji politik yang disampaikan dalam setiap kampanye seolah tidak begitu dihiraukan. Masyarakat menganggap janji-janji tersebut seperti hanya sebuah pepesan kosong saja. Mereka dalam memutuskan untuk memilih kandidat pasangan kepala daerah lebih pada faktor kedekatan emosinal, balas budi, ataupun punya latar belakang kesukuan dan agama yang sama. Yang lebih mengkhawatirkan adalah pilihan itu didasarkan pada nilai tukar yang diberikan oleh kandidat dalam bentuk transaksi uang dengan suara pemilih.

Jika kita melihat pada teori hierarkhi kebutuhan Maslow yang menempatkan kebutuhan itu berjenjang mulai dari kebutuhan dasar makan dan minum, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan dihargai, dan yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Maka piramida hierarki kebutuhan Maslow itu masih menempatkan jumlah terbesar masyarakat pemilih di Indonesia masih berkutat untuk memenuhi kebutuhan paling dasar yaitu makan dan minum. Pemenuhan kebutuhan makan dan minum merupakan kebutuhan diseputar urusan perut, maka penyelesaiannya adalah siapa yang dapat menukar antara kebutuhan pemilih dan kebutuhan yang minta dipilih, maka terjadilah sebuah transaksional. Sedangkan dipuncak piramida jumlahnya lebih sedikit masyarakat dengan level kebutuhan aktualisasi diri, mereka yang memberanikan diri untuk tampil sebagai kandidat dengan mengharapkan pemilih yang rasional pada level piramida Maslow. Mereka yang masih membutuhkan rasa aman, ataupun mereka yang butuh berkumpul, dan juga mereka yang butuh dihargai, pada level inilah yang bisa diharapkan berpikir menjadi pemilih cerdas dan rasional. Sayang jumlah masyarakat pemilih pada level ini lebih sedikit dibandingkan mereka yang berkutat pada urusan perut.

Kita tidak akan melihat para kandidat memasang billboard, spanduk, poster, ataupun iklan di media cetak dan elektronik yang menuliskan Visi dan Misi serta program-program yang akan diperjuangkannya jika terpilih. Mereka lebih suka memasang wajah mereka dengan rekayasa aplikasi editing photo agar terlihat lebih menarik dan simpatik. Kemudian menambahkan tagline berupa moto dan simbol-simbol yang menarik perhatian sehingga mudah diingat dan menjadi branding bagi pasangan kandidat pilkada. Hiruk pikuk pasca pilkada tidak akan kita dengar tuntutan dari masyarakat pemilih kandidat yang memenangkan kontestasi pilkada agar pasangan kandidat terpilih menunaikan janji politiknya. Yang akan kita dengar adalah tuntutan-tuntutan yang bersifat emosional dan lebih bersifat pribadi, dengan kata lain kepentingan sekelompok orang yang terlibat dalam mensukseskan kandidat menjadi bagian dari politik balas budi mengalahkan kepentingan publik.

SARJANA (BUKAN) CALON PENGANGGURAN

Oleh :

ENDRI SANOPAKA, S.Sos., MPM

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Para lulusan perguruan tinggi dengan gelar diploma ataupun kesarjanaan seringkali dianggap memberikan kontribusi pada jumlah angka pengangguran. Berdasarkan data dari “Buku Statistik Pendidikan Tinggi” Tahun Akademik 2014/2015, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia adalah 178.535 diploma dan 635,970 sarjana. Sedangkan dari buku yang sama dapat dilihat bahwa lulusan di Kepulauan Riau  1.705 diploma dan 3.167 sarjana. Maka banyak yang mengasumsikan lulusan diploma dan sarjana berkontribusi menambah angka pengangguran terbuka di Provinsi Kepri, meskipun sebagian dari mereka banyak yang bekerja sambil kuliah.  Berdasarkan data dari Buku Kepri Dalam Angka Tahun 2016 yang dikeluarkan oleh BPS, pengangguran terbuka berjumlah 55.318 orang, dan tentunya tidak semuanya adalah lulusan sarjana.
Jika orientasi meningkatkan pendidikan menuju jenjang S1 adalah mendapatkan pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang lebih baik, tentu orientasi tersebut salah alamat. Apalagi jika keinginan mendapatkan gelar sarjana adalah karena ingin bekerja didalam sektor pemerintahan menjadi Aparatur Sipil Negara, sebuah lapangan kerja yang jumlahnya terbatas untuk dapat menampung para lulusan perguruan tinggi. Memang karakter masyarakat Indonesia dan Malaysia menurut hasil kajian Hofsteed (2010) dalam bukunya berjudul “Culture And Organization” pada dimensi “Uncertainty Avoidance” atau dimensi menghindari sesuatu yang tidak pasti, menunjukkan bahwa harapan memperoleh pekerjaan di lingkungan pemerintahan adalah salah satu karakteristik masyarakat melayu yang menghindari sesuatu yang tidak pasti. Menjadi ASN dianggap memiliki jaminan penghasilan dan kepastian masa depan.
Melihat pada Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang kemudian dijabarkan didalam beberapa peraturan di lingkungan pendidikan tinggi telahpun disusun desain KKNI untuk jenjang pendidikan S1 adalah pada level 6 yang secara ringkas menuntut para lulusan sarjana mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. Kemudian menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. Dan yang terakhir tuntutan pada level 6 adalah mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa tuntutan dari seorang Sarjana itu bukanlah harus menjadi pekerja, melainkan kemandirian dari seorang Sarjana untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan didalam memecahkan persoalan yang ada di sekitar secara bertanggungjawab dengan keilmuannya. Oleh karena itu seorang sarjana harus dapat membuka lapangan pekerjaan dengan pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan bidang-bidang pengetahuan. Dengan kemampuan membuka lapangan pekerjaan tersebut lulusan sarjana bukan lagi menjadi beban bertambahnya jumlah pengangguran tapi dapat membuka lapangan pekerjaan, dengan asumsi bahwa setiap mereka membutuhkan tenaga kerja untuk membantunya dalam berusaha maka setiap tahunnya akan terbuka lapangan pekerjaan baru.
Saat ini tidak ada perguruan tinggi, khususnya penyelenggara pendidikan tinggi tingkat sarjana di Indonesia yang mendesain kurikulumnya untuk menghasilkan lulusan yang siap dipakai bekerja. Melainkan setiap perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan S1, sudah sejak dari awal dalam merancang kurikulumnya menjadikan lulusan sarjana yang siap untuk membuka lapangan pekerjaan. Mulai dari merancang mata kuliah kewirausahaan, kemampuan komputer terapan, penguasaan bahasa inggris, kemampuan “public speaking”, dan mewajibkan mengikuti Unit Kegiatan Kemahasiswaan, bahkan Kuliah Kerja Nyata dan Kuliah Kerja Luar Negeri adalah antara lain upaya perguruan tinggi untuk memandirikan para lulusannya.

Peran Pemerintah
Masyarakat luas, ataupun pemerintah tidak dapat begitu saja menuduh ataupun menganggap lulusan perguruan tinggi berpotensi menjadi beban pengangguran. Dan tudingan tersebut sering kali dialamatkan kepada perguruan tinggi yang mencetak sarjana. Pemerintah tidak harus menyiapkan program membuka lapangan pekerjaan bagi lulusan sarjana, melainkan harus ikut berperan merangsang para sarjana membuka lapangan pekerjaan baru. Harapan tersebut akan dapat dicapai tidak terlepas dari peran pemerintah. Meskipun secara regulasi telah disusun oleh pemerintah, tapi fasilitasi pemerintah untuk mendukung para lulusan sarjana membuka lapangan pekerjaan juga harus tetap dilaksanakan. Saat ini beberapa kementerian seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga telah membuka peluang bagi munculnya para pengusaha-pengusaha muda melalui bantuan permodalan. Hanya saja mentalitas entrepreneur masih harus terus didorong dan menjadi tanggungjawab perguruan tinggi sejak masih dibangku kuliah sudah mulai menanamkan semangat entrepreneur tapi tidak materialistis.
Fasilitasi pemerintah sebenarnya tidak harus selalu dengan bantuan secara materi, tapi dapat berupa kebijakan dan kemudahan-kemudahan serta prioritas. Misalnya para lulusan sarjana ini diberikan laluan untuk dapat ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dimulai dari merintis pengadaan barang dan jasa secara penunjukan langsung dengan Kriteria perusahaan Kecil. Kemudian dapat berlanjut ke pengadaan yang nilai kontraknya meningkat dapat disesuaikan dengan pengalaman dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selama ini pengadaan barang dan jasa pemerintah seringkali hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha-pengusaha besar ataupun yang sudah sangat senior. Bahkan pengadaan barang dan jasa pemerintah hanya menjadi monopoli tim-tim sukses para penguasa birokrasi.
Jika para sarjana ataupun mahasiswa di semester akhir sudah difasilitasi untuk menjadi pengusaha muda melalui kebijakan pemerintah mempermudah perizinan, legalitas dan badan usaha, dan pembekalan mekanisme proses berusaha, maka dapat dipastikan mereka tidak akan jadi pengangguran. Sebab status mereka di dalam identitas Kartu Tanda Penduduk akan berubah menjadi “Wiraswasta” , “Pengusaha”, “Pedagang”, “Konsultan”, ataupun “Swasta”. Dan tentunya para sarjana tersebut harus percaya diri untuk menyebutkan dirinya adalah seorang pengusaha, bukan pencari kerja.

MENJAGA GENERASI BANGSA BERKARAKTER

Oleh :

ENDRI SANOPAKA, S.Sos., MPM

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Dalam sebuah Sidang Komisi Forum Rektor Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 2 Pebruari 2017 di Jakarta, tepatnya pada Sidang Komisi Nilai-Nilai dan Karakter Bangsa dengan pimpinan sidang Rektor UIN Malang Prof. Mudija Rahardjo. Terlihat keresahan para pimpinan perguruan tinggi akan nasib generasi bangsa yang akhir-akhir ini mengalami dekadensi moral. Seolah sudah tidak punya pegangan dan tokoh panutan lagi. Kemajuan teknologi informasi, merajalelanya narkoba, tontonan televisi yang bebas tanpa sensor, saling hujat para tokoh-tokoh nasional di media cetak dan elektronik dan berkembangnya berita-berita hoax yang menyesatkan menjadi beberapa hal yang dianggap turut andil menyebabkan generasi bangsa kehilangan jati diri nilai-nilai karakter bangsa.
Karakter (Goree et al. 2007) adalah merupakan kebiasaan terpola untuk melakukan sesuatu yang benar tanpa sadar, atau membuat keputusan terhormat secara konsisten dengan standar moral yang tinggi. Perguruan tinggi sebagai salah satu bagian untuk membentuk generasi bangsa yang berkarakter juga menghadapi dilema sebab sejak awal sudah menerima input dari level jenjang pendidikan yang lebih rendah dengan situasi yang sama. Akhirnya perguruan tinggi harus bekerja keras untuk dapat mendesain sebuah nilai-nilai untuk membentuk karakter para mahasiswanya agar kelak setelah menempuh pendidikan tinggi empat sampai dengan lima tahun memiliki karakter dan jati diri yang kuat.
Orientasi pendidikan dan pengajaran yang selama ini dilakukan di perguruan tinggi bahkan juga di pendidikan dasar sampai dengan menengah cenderung lebih pada transfer of knowledge. Proses tersebut akan menghasilkan sebuah ilmu yang sebatas menjadi pengetahuan bagi peserta didik. Ditambah lagi jika proses memperoleh ilmu tersebut dengan pengorbanan materi yang cukup besar. Maka pengetahuan yang diperoleh akan menjadi pajangan dengan segala eksklusifitas yang disandang oleh penuntutnya. Sementara pembentukan karakter hasil akhirnya adalah perilaku. Perilaku dilandasi kepada sikap dari peserta didik melalui proses penanaman nilai-nilai yang dianutnya. Oleh karena itu pembentukan karakter dilakukan dengan transfer of value kepada peserta didik dalam pembentukan sikap dengan pembiasaan atau pengulangan.
Menanamkan nilai-nilai karakter yang baik dalam setiap matakuliah atau mata pelajaran adalah bagian terpenting dalam proses pembentukan karakter. Materi-materi pembelajaran perlu disusun dengan kegiatan pembelajaran yang menuntut sebuah praktek pembiasaan atau pengulangan atas perilaku yang baik. Penanaman nilai-nilai yang baik dalam setiap tindakan penyelesaian suatu permasalahan dalam proses pembelajaran akan membentuk perilaku yang baik, karena akan menjadi sebuah kebiasaan hingga terbentuk sebuah perilaku etis.
Tidak cukup hanya membiasakan para peserta didik untuk bersikap dan berperilaku baik, tapi juga diperlukan tokoh-tokoh yang dapat dijadikan role model atau tauladan. Tokoh utama tentunya adalah para pendidik yang secara langsung berhadapan dengan peserta didik setiap harinya. Sikap dan perilaku para pendidik akan menjadi pedoman bagi peserta didik. Setiap hari peserta didik menjadi terbiasa melihat dan bahkan terbawa serta mengikuti sikap dan perilaku pendidiknya. Maka dari itu para pendidik juga dituntut untuk dapat selalu menjaga kehormatan dengan bersikap dan berperilaku yang baik karena menjadi role model utama yang akan membentuk karakter generasi bangsa.
Selain itu hendaknya para tokoh lokal ataupun tokoh nasional dan juga public figure yang selalu tampil di media elektronik dapat juga kembali mengevaluasi diri apakah sudah memberikan tauladan yang baik bagi generasi bangsa ini. Hampir setiap hari kita menyaksikan tokoh maupun public figure saling bertengkar. Walaupun pertengkaran disampaikan secara lisan namun dengan cara-cara yang tidak etis bahkan tidak beradab. Tutur kata yang dilontarkan kasar dan tidak sepantasnya didengar ataupun disaksikan dihadapan publik. Kadangkala pertengkaran tersebut adalah merupakan bagian skenario yang sengaja dipertontonkan untuk mempengaruhi persepsi publik.
Bahkan yang lebih merisaukan adalah sebuah proses persidangan dilembaga peradilan yang melibatkan tokoh dan public figure dalam sebuah perkara. Prosesnya malah dikonsumsi publik dengan mempertontonkan aib secera terbuka. Semua yang dikonsumsi publik atas praktek tidak etis yang dilakukan oleh tokoh dan public figure tersebut secara berulang-ulang menyebabkan pergeseran nilai, sikap dan perilaku masyarakat. Masyarakat lama-kelamaan melihat bahwa praktek tidak etis itu adalah hal yang biasa dan wajar. Jelaslah bahwa kontribusi tokoh dan public figure dalam membentuk karakter bangsa adalah merupakan bagian penting menjadikan generasi bangsa yang berkarakter, bukan saja menjadi tuntutan tanggungjawab dari lembaga pendidikan semata.
Dan yang terpenting adalah peran keluarga dirumah sebagai basis asal pembiasaan penanaman nilai, sikap dan perilaku. Jika keluarga dirumah, lembaga pendidikan, serta tokoh dan public figure memiliki persepsi dan definisi yang sama dalam membentuk generasi bangsa berkarakter, niscaya generasi bangsa akan terjaga. Kita masih ingat ketika orang tua tempo dulu yang dianggap ketinggalan zaman dalam mendidik putra dan putrinya. Tidak pernah terlontar ujaran-ujaran kasar yang disampaikan saat orang tua memarahi anaknya karena melakukan kesalahan. Cukup dengan menggunakan sindiran serta bahasa kiasan dan pantun, kemarahan itu disampaikan. “Hei Bertuah Punya Budak” sebuah kalimat yang terlontar ketika seorang ibu sedang memarahi anaknya karena berbuat suatu kesalahan. Kalimat itu pada akhirnya menjadi doa bagaimana keinginan seorang ibu agar anaknya menjadi anak yang memiliki tuah. Barangkali berbeda dengan saat ini yang dianggap sebagai era kebebasan, sampai-sampai tutur kata anak kepada orang tuanya pun sudah tidak beradab. Bahkan orang tua masa kini saat memarahi anaknya menggunakan kalimat-kalimat makian.
Kita masih teringat pada waktu era orde baru bagaimana mendidik anak-anak disekolah melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran PMP bahkan menjadi salah satu syarat bagi peserta didik untuk naik kelas bahkan kelulusan. Kenaikan kelas dan kelulusannya juga harus sejalan dengan sikap dan perilaku yang baik disekolah dan dirumah. Kemudian kita juga kembali merindukan penanaman nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik saat mulai masuk sekolah menengah yang terkenal dengan nama “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)”.
Pesan khusus yang juga disampaikan oleh para rektor dalam sidang Komisi Forum Rektor dengan pembahasan Penguatan Karakter dan Nilai-Nilai Budaya Bangsa adalah, para pendidik harus ikhlas dalam memberikan ilmu, karena dengan keikhlasan maka ilmu itu akan sampai ke hati. Hati adalah pusat energi yang akan menggerakkan sikap dan perilaku manusia termasuk menggerakkan lingkungan. Dengan demikian segala nilai-nilai yang ditanamkan pada masa lalu oleh para orang tua serta tokoh-tokoh bangsa merupakan upaya menjaga generasi bangsa yang berkarakter. Tidak semestinya kita malu untuk kembali menjaga generasi bangsa dengan menanamkan nilai-nilai yang dulu pernah menjadi kebanggaan bagi kita sebagai bangsa timur yang beradab.

KEBHINNEKAAN : ASET DAN PEMERSATU BANGSA INDONESIA

Oleh :

ENDRI SANOPAKA, S.Sos., MPM

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji
Satu waktu Bung Karno dan Bung Hatta mendiskusikan tentang bentuk negara yang akan di Proklamirkan saat Indonesia Merdeka (dalam film Soekarno, Indonesia Merdeka : 2013). Bung Hatta berargumen bahwa Indonesia dengan keberagamannya sangat cocok jika bentuk negaranya adalah Federalistik. Sedangkan Bung Karno terinspirasi dengan sumpah Palapa Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit yang bertekad untuk mempersatukan nusantara sehingga beliau mengusulkan bentuk Negara Kesatuan. Bung Hatta bertanya bagaimana cara untuk mempersatukan nusantara yang berbeda-beda tersebut, jawab Bung Karno adalah dengan perasaan senasib sepenanggungan. Bahwa bangsa Indonesia yang beragam tadi memiliki kesamaan nasib telah dijajah oleh bangsa asing. Diskusi tersebut dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa keberagaman dapat dipersatukan dengan spirit perasaan senasib sepenanggungan. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini telah hampir mencapai usia 72 tahun kemerdekaan lepas dari belenggu penjajahan.
Bangsa Indonesia sadar benar bahwa kita ini beragam sejak secara resmi oleh para pendiri negara memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut merupakan anugerah yang tidak terhingga yang diberikan tuhan kepada Bangsa Indonesia. Jika kita melihat negara tetangga kita Malaysia dan Singapura yang hanya membedakan suku bangsa menjadi tiga golongan, yaitu Melayu (apapun sukunya asalkan islam), India, dan Cina masih saja dihadapkan pada potensi konflik yang cukup tinggi. Tapi kita Indonesia dengan bermacam Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) dapat hidup berdampingan mulai dari awal pendirian negara sampai dengan saat ini, walaupun pada saat ini kita sedang dihadapkan pada potensi konflik yang cukup beresiko sebagai bagian ujian atas eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita harus melihat bahwa kondisi stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan beragamnya perbedaan yang terdapat di masyarakat menyebabkan Negara dan Bangsa lain menjadi cemburu. Tidak sedikit tentunya mereka diluar Indonesia yang barangkali menginginkan Indonesia ini bubar. Berbagai macam serangan mereka lancarkan meskipun bukan dengan ancaman senjata dan perang, tapi dengan cara-cara halus melalui potensi konflik keberagaman. Aset terbesar bangsa Indonesia adalah Persatuan dan Kesatuan yang telah dipupuk oleh sebuah semangat mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini agar tetap tegak berdiri di muka bumi. Pengalaman pahit dijajah dan di adu domba oleh bangsa penjajah telah menjadikan sebuah proses pendewasaan bangsa Indonesia menjadi sadar benar bahwa isu-isu yang mempersoalkan perbedaan itu adalah sebuah upaya memecah belah bangsa yang besar ini.
Kita semua patut bersyukur bahwa bangsa Indonesia sadar, bahwa mendirikan negara ini sejak awal sudah memang berpondasi kebhinnekaan. Kebhinnekaan diperkuat dengan semangat senasib sepenanggungan yang kemudian memiliki tujuan bersama dalam membentuk negara ini, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Konstitusi Negara. Segala perbedaan ditinggalkan, dan dianggap bahwa kebhinnekaan itu adalah sebuah berkah dari Yang Maha Kuasa atau dengan kata lain adalah merupakan Aset bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebhinnekaan di Indonesia melahirkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai etika dan perilaku bangsa secara nasional. Kesemuanya bersumber dari budaya yang hidup dari masing-masing Suku Bangsa di Indonesia, dengan dikumpulkan menjadi satu dan diambil intisarinya sehingga menghasilkan saripati dari kebhinnekaan tersebut yang tercermin pada Pancasila yang merupakan hasil penggalian atas nilai-nilai luhur yang tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia yang beragam tadi (Yudi Latif : 2011). Maka Pancasila itu dimulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Semua perbedaan menjadi lebur dengan Dasar Negara Pancasila tersebut, dan semua nilai-nilai terakomodir dalam lima sila yang dibingkai dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu).
Kebhinnekaan dan Persatuan Bangsa di Persimpangan
Hari ini kita sedang mengalami ujian atas komitmen persatuan dan kesatuan dari kebhinnekaan Indonesia. Ujian tersebut seharusnya tidak terjadi sebab kita sadar bahwa negara Indonesia didirikan atas dasar adanya perbedaan-perbedaan, yang kemudian disatukan melalui sebuah proses kesadaran bersama. Oleh karena itu kita sebagai generasi penerus para founding father wajib menjaganya. Kita tidak boleh lengah atas berbagai macam upaya yang menginginkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjadi tercerai berai. Sebab persatuan dan kesatuan yang dibangun dari keberagaman tersebut memang rawan berada dipersimpangan, apakah bertahan atau bercerai dan rapuh. Akan tetapi kita harus terbangun dari mimpi buruk ini, sebuah keadaan yang sememangnya diinginkan oleh para neo-imperialisme yang ingin kembali menguasai Indonesia, meskipun tidak dengan invasi langsung menggunakan senjata. Serangan yang mencoba menghancurkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia adalah dengan mempersoalkan kebhinnekaan Indonesia. Mereka masuk dengan “de-sakralisasi nilai-nilai luhur Pancasila”, sehingga Ketuhanan menjadi dipersoalkan, rasa kemanusiaan terhadap sesama mulai tidak berimbang dan tidak beradab, rasa persatuan dan kesatuan dilemahkan dengan kemasan perbedaan yang semakin mencolok, demokrasi Pancasila yang khas Indonesia melalui musyawarah mufakat menjadi demokrasi dengan suara terbanyak dan pencitraan penuh kepalsuan. Dan juga rasa keadilan sosial hari ini tidak lagi bagi seluruh rakyat, akan tetapi hanya bagi segelintir elit-elit yang menampilkan gaya hedonistik.
Aset kita yang paling berharga tersebut berupa Pancasila yang merupakan saripati dari Kebhinnekaan Bangsa Indonesia ingin dihancurkan agar dengan mudah mereka kembali menguasai negeri ini. Oleh karena itu kita harus kembali bersama-sama membangkitkan sebuah kesadaran bersama bahwa Bangsa Indonesia dengan keberagamannya harus diikat kembali dengan sebuah spirit baru untuk saat ini. Bukan lagi rasa senasib sepenanggungan, karena tentunya nasib kita saat ini antar daerah berbeda-beda dan cenderung menimbulkan kecemburuan sosial, yang berdampak pada keinginan untuk  mencari perhatian dari Pemerintah pusat. Kita mungkin harus mendesain ulang semangat kebersamaan itu sebagaimana para pendiri bangsa ini telah berusaha mempersatukan perbedaan-perbedaan dan saling menerima. Kembali pertanyaan Bung Hatta itu diajukan “dengan cara apa bangsa Indonesia yang berbeda-beda ini dapat dipersatukan hari ini?”. Mungkin Rasa syukur atas nikmat karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menganugerahi kita alam yang subur dengan segala potensi kekayaan sumber daya alam. Serta sumber daya manusia yang beragam dan memiliki iklim dan musim yang bersahabat bagi kehidupan kita. Maka kita perlu menjaganya agar tidak dikuasai oleh bangsa lain yang sejak dulu berkeinginan memiliki negeri ini. Pada akhirnya barangkali perlu kita sadari bahwa saat ini kita tidak dapat memaksakan “perbedaan untuk tetap satu”, tapi mungkin tepatnya kita ini “satu dalam perbedaan yang manusiawi”.

ASSESSMENT CENTER CALON MANAJER PUBLIK SEBUAH DILEMA TUNTUTAN KOMPETENSI DAN KEPERCAYAAN

Oleh : Endri Sanopaka, MPM

Ketua STISIPOL Raja Haji


Semangat reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah salah satunya adalah dengan memulai proses pengisian jabatan birokrasi sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Salah satu mekanisme untuk mengisi jabatan publik didalam birokrasi pemerintah daerah adalah dengan Assessment Center. Assessment center untuk pertama kali digunakan oleh militer jerman pada perang dunia ke II. Dan perusahaan American Telephone and Telegraph Company (AT&T) memperkenalkan assessment center kepada dunia bisnis sekitar tahun 1950an, dan telah mengevaluasi lebih dari 200.000 pekerja yang berpotensi (ivancevich : 2007). Selain itu di Indonesia salah satu BUMN yang berpengalaman melakukan assessment center adalah PT. TELKOM yang memulainya pada tahun 1990 digagas oleh Fadjar Bastaman. Unit Bisnis Assessment Center Telkom membantu karyawannya merencanakan karir serta memperoleh kepastian karir di masa depan.  

Metode yang digunakan dalam proses assessment adalah wawancara, test objective, tes proyeksi, games, bermain peran, dan lainnya. Biasanya assessment akan mengambil waktu 2 hari setengah dengan rincian pada hari pertama orientasi peserta, bermain simulasi manajemen didalam kelompok, dimana tim penilai (asesor) akan mengamati kemampuan merencanakan, keterampilan menyelesaikan masalah, keterampilan berinteraksi, dan kemampuan berkomunikasi. Lalu tes psikologi untu mengukur kemampuan verbal dan numerik. Dilanjutkan wawancara oleh asesor dimana peserta mendiskusikan tujuan, motivasi dan rencana karir. Kemudian diskusi kelompok kecil atas sebuah kasus yang mana asesor mengamati kepercayaan diri, persuasive, dan fleksibilitas dalam membuat keputusan.

Hari kedua materinya adalah latihan membuat keputusan secara individu, dimana peserta akan diminta untuk membuat sebuah keputusan atas beberapa  permasalahan yang harus diselesaikan. Asesor akan melihat keterampilan menemukan fakta, memahami prosedur penyelesaian masalah, dan keberanian mengambil resiko. Materi berikutnya disebut dengan latihan didalam keranjang, yaitu asesor akan mengamati kemampuan peserta dalam mengambil keputusan didalam tekanan, kemampuan mengorganisasi, mengingat dan kemampuan untuk mendelegasikan. Materi selanjutnya adalah bermain peran permainan peran menilai prestasi wawancara yang mengamati empati, kemampuan untuk bereaksi, keterampilan konseling, dan bagaimana informasi dipergunakan. Materi terakhir di hari kedua adalah penyelesaian masalah kelompok yang menilai kemampuan kepemimpinan dan kemampuan bekerja didalam kelompok. Pada hari terakhir materinya adalah presentasi analisis kasus secara individual yang menilai kemampuan menyelesaikan masalah, persiapan metode, kemampuan menjawab pertanyaan, dan keterampilan berkomunikasi. Dan materi terakhir adalah evaluasi oleh para peserta.

Jika melihat secara keseluruhan dari rangkaian materi assessment yang ingin dilihat adalah kemampuan dari seorang calon pejabat publik (manajer publik) didalam mengambil keputusan dan penyelesaian suatu permasalahan, baik secara individual maupun secara kelompok. Seseorang yang memiliki kemampuan tersebut dianggap mampu untuk menduduki jabatan sebagai seorang manajer publik.



Manajer Publik vs Manajer Private

Pengisian jabatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada dasarnya bukanlah merupakan sebuah kontes pemilihan calon pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Melainkan kontestasi untuk mencari manajer-manajer publik yang bertugas untuk mengurus masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik. Konsep manajemen yang dalam keseharian kita maknai adalah mengatur, telah bergeser menjadi “mengurus”. Maka dari itu orang yang melakukan pengurusan disebut  manajer. Dalam ruang lingkup manajemen publik maka manajer publik adalah pengurus kepentingan publik bukan kepentingan penguasa.

Manajer publik pucuk pimpinan tertinggi adalah pejabat politik seperti gubernur dan bupati/walikota. Ukuran produktivitas kerja manajer publik tidak menjadi penting dibandingkan dengan loyalitas dan kepatuhan terhadap penguasa birokrasi, maka kompetensi menjadi dikesampingkan. Berbeda dengan Manajer Private yang dituntut untuk memiliki kinerja yang maksimal didasarkan pada kapasitas produksi yang dihasilkan, sehingga kompetensi mengesampingkan faktor kepentingan politik.



Jabatan Adalah Kepercayaan

Proses assessment yang dilakukan oleh tim asesor dapat dipastikan berbiaya mahal, oleh karena itu jika ternyata mereka yang memperoleh jabatan publik tadi tidak dapat melaksanakan tugas melayani masyarakat dengan baik, maka sia-sialah alokasi anggaran yang telah dikeluarkan untuk menyeleksi para manajer publik tersebut. Semangat perubahan didalam birokrasi publik, khususnya didalam seleksi calon-calon manajer publik sebagaimana yang diamanahkan didalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Hal ini dilakukan juga karena pada masa lalu pemilihan para manajer publik lebih kepada hubungan kedekatan dengan pihak penguasa birokrasi. Hanya saja secara filosofis bahwa jabatan itu adalah kepercayaan, maka menjadi persoalan mendasar adalah apakah mereka yang telah diseleksi melalui mekanisme assessment center dan dianggap memiliki kemampuan dan kompetensi sebagai manajer public dapat dipercaya untuk bekerjasama membantu tugas-tugas kepala instansi.

Hasil assessment menentukan bahwa setiap posisi jabatan harus menghasilkan short list nama untuk kemudian diserahkan kepada user dalam hal ini adalah penguasa birokrasi untuk dipilih menduduki posisi jabatan manajer publik. Jika pilihannya hanya didasarkan pada skor penilaian secara kuantitatif, maka belum tentu orang dengan skor tertinggi adalah orang yang dapat dipercaya. Jabatan adalah amanah dan kepercayaan, bukannya hak. Sehingga mereka yang dipilih oleh penguasa birokrasi sedianya adalah orang yang dipercaya, atau orang kepercayaan yang dianggap dapat bekerjasama dalam membantu tugas-tugas penguasa birokrasi. Penguasa birokrasi juga membutuhkan tim kerja yang dapat membuatnya nyaman, dan tentu sang penguasa harus mengenal orangnya lebih dahulu.

Orang yang dipercayai tidak dituntut memiliki kompetensi dalam jabatan yang didudukinya. Seorang manajer publik yang dipercaya oleh penguasa birokrasi diharapkan lebih memahami ritme kerja dan hal-hal lain yang dianggap krusial dan para manajer publik dianggap dapat menyelesaian persoalan yang ditinggalkan. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang berkompeten belum tentu dapat dipercaya dan dapat membantu serta memahami ritme kerja penguasa birokrasi.

Deputi BKKBN Pusat Kunjungi Pojok Kependudukan STISIPOL Raja Haji

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Bapak Dr. dr. M. Yani, M.Kes.,PKK. berkunjung ke Pojok Kependudukan STISIPOL...